|| nuli bakal lair | sawijining manungsa kang linuwih, kapilih | kang miwiti uripe nyarira batur najis | nanging ing titiwancine piyambake bakal madeg raja tinresnan | kang bakal kalebu ati marang kawulane nganti salawase...

|| dan kelak akan lahir | satu manusia yang dipilih | yang mengawali kehidupannya sebagai budak hina | namun kemudian menjadi raja | yang dikenang sepanjang waktu...

Senin, 18 Juli 2011

Laki-laki yang Menepis Kematian


Ruangan ini seperti telah memerangkapnya!
Walau ruangan sempit dengan tembok hitam legam ini jarang digunakan, namun tetap saja bau kematian tercium jelas di sini. Ini adalah ruang penjara di residen. Letaknya memang tersembunyi di bawah tanah, di bagian paling belakang dari residen tersebut.
Luasnya tidaklah terlalu besar. Hanya terdiri dari 2 ruangan berterali berukuran sedang dan sebuah ruangan sempit, khusus untuk penjahat-penjahat istimewa. Seperti di mana Untung berada saat ini.
Dulu, lelaki itu, yang biasa dipanggil dengan nama Untung, sudah pernah melihat ruangan ini sebelumnya. Tapi ia sama sekali tak pernah menyangka bila sekarang ia akan menjadi salah satu penghuninya. Ia tahu sudah berapa banyak penjahat yang mati di sini. Ia bahkan pernah membantu para marechaussee’ mengeluarkan mayat dan menguburnya, hingga beberapa kali.
Dan kini ia ada di sini! Ini terasa begitu mengerikan. Di pojok ruangan masih terlihat bekas darah yang tak dibersihkan. Kekentalannya masih bisa terlihat di keremangan ruangan ini. Semut-semut merah, yang ukurannya lebih besar dari biasanya, tak pernah selesai menghabiskan darah-darah itu. Penghuni-penghuni sebelumnya pastilah merasakan juga apa yang kini dirasakan oleh Untung. Maka itulah untuk mengurangi bau amis yang menusuk, mereka terpaksa menutupi dengan air kencing mereka. Tapi itu ternyata tak berpengaruh banyak. Air kencing dan darah ternyata merupakan senyawa yang bertalian, sebuah kerabat dekat. Maka bau amis pun akan berubah menjadi bau pesing yang paling menyengat!
Tak sampai di situ, di bagian langit-langit ruangan, terlihat beberapa laba-laba yang terus memperhatikan Untung. Matanya yang besar dan nampak berkilau merah nampak sangat menakutkan di kegelapan seperti ini. Terlebih tanpa takut-takut, mereka kerap turun ke bawah dengan jaringnya, seakan ingin memperhatikan sosok yang ada di bawah mereka lebih dekat.
Dan Untung hanya bisa memejamkan matanya kuat-kuat untuk semua itu. Kini, ia tak lagi bisa bergerak. Tubuhnya masih merasakan rasa perih yang tak berkesudahan. Tadi sewaktu ia dibawa kemari, para marechaussee’ sudah memukulinya hingga ia terpuruk kesakitan.
Setelah itu, siksaan seperti tak pernah habis meradang ditubuhnya. Tak hanya pukulan dan tendangan yang mendera tubuhnya, tapi juga cambukan! Mijnheer Moor bahkan melakukan sendiri padanya.
“Budak tak tahu diri, jadi ini balas budimu pada ik, heh?” ia menjambak rambut Untung.
Dan Untung hanya meringis kesakitan. “Ma... af… mij… nheer… ” ujarnya terpatah-patah di antara darah yang mengalir dari mulutnya.
Tapi apa artinya kalimat itu bagi Mijnheer Moor sekarang? Ia telah begitu murka. Selama ini ia merasa sudah sangat mengistimewakan Untung. Ia mengajaknya menonton sirkus, mengajarinya menembak dan melonggarkan pekerjaannya, agar dapat sekedar bermain-main dengan putrinya.
Sungguh, ia merasa Untung telah menikam dirinya dari belakang. Maka dengan kemarahan yang tak pernah reda, sudah diambilnya sebilah belati dari samping pinggangnya, lalu dengan gerakan kilat ditusukkannya pada lambung Untung.
“Aaaarch…” Untung hanya bisa kembali berteriak. Namun pisau yang telah menancap itu tak langsung dicabut Mijnheer Moor.
“Kau tahu apa hukuman bagi seorang penghianat?” desisnya sembari memutar-mutar belatinya dengan pelan.
Dan Untung tentu saja tak bisa menjawab pertanyaan itu. Hanya teriakannya yang menyayat menyeruak di ruangan pengap itu, menembus dinding-dindng penyekat, membuat penjahat-penjahat lain yang ada di ruangan-ruangan sebelahnya bergidik ketakutan.
Sungguh, saat itu Untung merasa kematiannya telah begitu dekat padanya. Kesakitan seperti ini tak pernah dirasakannya, walau ia telah bertahun-tahun hidup di penampungan budak sekali pun. Maka itulah ia berkali-kali tak sadarkan diri, dan berharap, tak lagi sadar setelah itu…
Beberapa penjahat yang sejak tadi hanya diam, dengan bulu kuduk yang terus merinding, mencoba ke bibir terali, untuk melihat lebih jelas sosok yang mereka anggap akan mati sebentar lagi.
“Apa yang sudah dilakukannya? Hingga penyiksaannya begitu kejam?” seorang penjahat bertanya pada yang lain.
Namun tak ada yang bisa menjawabnya.

*****
Untung kembali bangun saat mendengar suara-suara bergema di situ.
Awalnya ia menyangka bila tahanan-tahanan di ruang sebelah yang kembali mencoba mengajaknya bicara, tapi dugaan itu ternyata salah. Suara itu ternyata berasal dari ujung ruangan yang tak terlihat olehnya. Dan suara itu ternyata adalah… suara seorang perempuan!
Untung tertegun untuk sesaat. Ia seperti sangat mengenal suara itu. Maka ia pun segera mencoba bangkit di antara darah kering disekujur tubuhnya. Namun ia ternyata tak lagi memiliki kekuatan untuk itu. Maka di tengah kesenyapan itu, ia hanya bisa mencoba mendengar suara-suara itu…
“Kau membantahku?” suara perempuan itu terdengar samar-samar dikejauhan.
Untung tertegun. Jelas sekali bila itu… adalah suara Suzanne. Ia begitu mengenalnya. Maka seakan mendapat kekuatan baru, ia berusaha bangkit.
“Ini perintah Mijnheer, Jufrouw! Ia akan digantung esok pagi, jadi tak ada seorang pun yang boleh menengoknya!” suara lain terdengar.
“Dengar, vader akan menghukumnya esok,” suara Suzanne kembali terdengar keras. “Maka aku ingin menemuinya untuk terakhir kali…”
“Tapi, Juffrouw, aku… tak bisa. Mijnheer akan menghukumku…”
“Vader tak akan tahu,” ujar Suzanne lagi. “Aku hanya ingin memberikannya makanan ini untuk terakhir kalinya…”
Lalu untuk beberapa saat tak ada suara tanggapan lagi dari ucapan itu, Selain hening yang ada.
“Baiklah, juffrouw, tapi hanya sebentar saja!” ujar suara itu tak lama kemudian.
Lalu dari balik terali besinya, Untung mulai mendengar suara langkah-langkah kaki mendekat padanya. Sosok Suzanne tak lama kemudian muncul dihadapannya. Ia segera berlari mendekat, namun terali besi menghalangi mereka.
“Kakak,” suara Suzanne terdengar tercekat.
“Engkau… datang, Suzanne,” Untung mencoba tersenyum. Namun bibirnya tak cukup kuat tertarik.
Mata Suzanne seketika berkaca-kaca, begitu melihat pasungan pada tangan Untung. Terlebih saat ia juga melihat luka-luka yang ada pada seluruh tubuh Untung.
“Vader… melakukan ini padamu?” Sungguh, Suzanne tak pernah menyangka ayahnya akan setega ini melakukan penyiksaan terhadap Untung. Air matanya tak bisa dihalangi lagi jatuh dari pelupuk matanya.
“Jangan menangis,” ujar Untung. “Aku… tak apa-apa…”
Suzanne menyeka air matanya. Ia berusaha nampak kuat. Namun ketika matanya kembali menatap luka-luka yang begitu dalam, ia benar-benar tak mampu menahan air matanya.
“Ik mis jou…” ia hanya bisa berujar pelan sambil menjulurkan salah satu tangannya ke dalam sel untuk menyentuh wajah Untung.
“Juffrouw Suzanne,” suara marechaussee’ yang ternyata sejak tadi berdiri tak jauh di belakang Suzanne, terdengar menyela. “Juffrouw berjanji hanya akan mengantarkan makanan itu!”
Suzanne menoleh, “Ya, tentu saja.” Lalu sambil kembali menghapus air matanya, ia segera memberikan mangkuk makanan yang sedari tadi dipegangnya, melalui celah di bawah terali.
“Aku membuatkan kakak sup,” ujarnya terisak. “Makanlah ini hingga benar-benar habis, malam ini. Rasanya yang begitu nikmat seakan membawa kakak menuju Jembatan China…”
“Juffrouw!” suara marechaussee’ itu kembali terdengar dengan sedikit menghardik.
Suzanne mulai bangkit sambil kembali menyeka air matanya. “Aku pergi,” ujarnya sambil menatap untuk terakhir kalinya pada Untung. “Jaga diri kakak baik-baik!”
Lalu sebelum Untung berucap apa-apa lagi, Suzanne sudah berlalu dari situ. Sesaat ia hanya bisa terpaku menatap kepergian Suzanne meninggalkan aroma wangi yang biasa dipakainya. Dan kini, Untung seakan tak ingin menghirupnya secara berlebihan, karena ia tak ingin aroma ini hilang darinya.
Untung kembali terpuruk ke dalam keheningan ruangannya. Tubuhnya seketika kembali lunglai, seakan kekuatannya begitu saja hilang. Yang bisa dilakukannya hanya memandangi mangkuk sup yang ada didekatnya. Tiba-tiba ia kembali teringat ucapan Suzanne…
Aku membuatkan kakak sup. Makanlah ini hingga benar-benar habis, malam ini. Rasanya yang begitu nikmat seakan membawa kakak menuju Jembatan China…
Untung tertegun. Entah mengapa, saat itulah ia baru merasakan kejanggalan ucapan itu. Maka ia pun segera menyendok sup itu dengan gerakan perlahan.
Dan saat itulah ia tertegun. Di antara sayuran-sayuran yang menutupi sup itu, dilihatnya beberapa kunci ada di situ!

*****
Untung mencoba bermeditasi. Beberapa tahun menjadi murid Ki Tembang Jara Driya, ia telah bisa mengalirkan energinya dengan baik ke seluruh tubuhnya. Sebenarnya ia telah melakukan sejak penyiksaan itu dimulai. Maka itulah ia masih bisa hidup sampai sekarang. Kini bahkan darah yang semula tanpa henti mengalir dilambungnya, seakan terhenti oleh desakan enegi murninya. Maka hanya sampai menjelang malam, ia merasakan perih ditubuhnya, sedikit berkurang.
Saat itulah ia kemudian, memutuskan untuk melarikan diri!
Dengan gerakan hati-hati, mulai dikeluarkannya kunci-kunci yang disembunyikannya di salah satu celah tembok ruangannya. Jumlahnya ada sekitar 10 kunci, dan ini pastilah kunci yang dipakai di seluruh ruangan ini. Nampaknya Suzanne tak mau mengambil resiko memberikan kunci yang salah.
Maka Untung pun segera memilih kunci untuk membuka pasungannya. Setelah itu, barulah ia beranjak membuka gembok ruangannya. Sedikit ia meringis, saat lambungnya masih terasa perih terkena gesekan tubuhnya. Tapi Untung berusaha menahannya.
Sesaat, ia mencoba merasakan suara yang ada disekitarnya. Hanya suara dengkur yang bersahutan terdengar dari sel-sel lainnya. Namun suara itulah yang kemudian membuat Untung memutuskan untuk membebaskan tahanan-tahanan lainnya.
“Stttt,” ia mulai membuka salah gembok di pintu berterali itu satu demi satu. “Keluarlah kalian!”
Beberapa orang yang semula tertidur lelap, mulai terbangun satu demi satu. Dalam kondisi temaram, dan belum sepenuhnya tersadar, mereka langsung dapat menduga apa yang kini tengah terjadi.
Maka mereka semua mulai mengendap-endap keluar dari ruangan mereka. Semula Untung tak menyadari berapa banyak jumlah orang yang ada di situ, namun ketika semuanya telah terbangun, dan mulai beranjak ke arah koridor, baru disadarinya kalau jumlahnya cukup banyak. Mencapai 40 orang lebih.
Maka tak bisa dihindari lagi, orang sebanyak itu di dalam ruangan yang sesempit ini dengan penerangan yang begitu temaram, mau tak mau akan menimbulkan juga suara hiruk pikuk yang tertahan. Inilah yang lama kelamaan membuat seorang marechaussee’ yang berjaga, tersadar.
“Tawanan kabuuuur!’ ia berteriak memecah keheningan.
Dari satu suara ini saja, gemanya langsung memenuhi seluruh ruangan, membuat para marechaussee’ yang lain segera terjaga dan menyiapkan senapannya.
“TAWANAN KABUUUUR!” seorang marechaussee’ yang lain kembali berteriak.
Namun sebelum mereka semua benar-benar mengarahkan senapannya, beberapa tahanan yang nampaknya menguasai bela diri segera melompat dan menubruk para marechaussee’ tersebut. Lalu dengan gerakan cepat, mereka segera mematahkan leher para marechaussee’ itu.
Para tawanan semakin merangsek ke luar. Kini dengan bekal beberapa senapan yang berhasil direbut sebelumnya, para tawanan berusaha menembak para marechaussee’ yang mencoba menghalangi.
Pertempuran kecil tak bisa dihindari terjadi di gerbang penjara. Para marechaussee’ yang berjaga di depan gerbang langsung menyambut mereka dengan peluru. Terlebih para marechaussee’ yang ada di atas menara.
Beberapa tahanan seketika rubuh terkena pelor panas. Untung yang menyadari itu segera mengambil tindakan cepat. Dengan lompatan ringan bertumpu dinding benteng, ia segera melompat ke arah menara. Sesekali ia mencoba menghindar, dari bidikan senapan para marechaussee’ tersebut.
Karena bentuk menara yang tak terlalu tinggi, hanya dengan dua kali lompatan lebar, Untung dapat sampai di atas menara dan menaklukkan para marechaussee’ yang ada di situ.
Tindakan itu benar-benar membuat para tahanan segera meluapkan semangatnya. Terlebih saat Untung melemparkan beberapa senapan ke bawah, mereka semakin nampak bersemangat. Mereka tak tahu bila di balik semua itu, Untung kembali memegang lambungnya yang kembali mengeluarkan darah.
Tapi para tahanan sudah terlanjur bersemangat. Mereka terus merangsek ke depan dengan nekad, seakan tak lagi mementingkan nyawa mereka. Langsung diserbunya para marechaussee’ yang tak henti menembaki mereka.
Untung terus memimpin di depan. Sesekali ia membuang matanya di kejauhan, menatap hutan gelap di depannya. Saat itu ia sudah berpikir akan melarikan diri ke sana.
Kelak dari hutan itulah langkah awal baginya menjadi momok paling menakutkan bagi kompeni, hingga puluhan tahun ke depan…

*****

Catatan
Kapiten : Kapten
Lieve schat (bahasa Belanda) : sayang
Vader (bahasa Belanda) : ayah
Mijnheer (bahasa Belanda) : menir, tuan
Juffrouw (bahasa Belanda) : nona